5 Fakta tentang ‪‎Muslim‬ di ‪Kamboja‬

#5 Fakta tentang ‪#‎Muslim‬ di ‪#‎Kamboja‬ | ‪#‎RamadhanSeries‬ : ‪#‎Muslims‬ in ‪#‎Indochina‬
muslimah kamboja#1. Saat ini diperkirakan tidak kurang dari setengah juta penduduk Kamboja yang memeluk agama Islam.
#2. Kamboja termasuk salah satu negara yang paling homogen di dunia, yang hampir seluruhnya terdiri dari etnis Khmer saja, ternyata di dalamnya terdapat etnis Champa yang oleh masyarakat lokal lebih dikenal dengan Khmer Islam. Nenek moyang Kaum Muslim Kamboja merupakan penduduk kerajaan Campa di Vietnam yang menguasai semenanjung Indochina.
#3. Selain etnis Champa, Islam juga dianut oleh sejumlah keturunan Melayu yang menjadi penduduk di Kamboja dan juga para pendatang dari negara-negara yang sebagian besar penduduknya adalah Muslim.
#4. Saat ini Umat Islam di Kamboja sudah bisa hidup tenang, karena dahulu Muslim Kamboja berada dalam ketakutan ketika pasukan ultrakomunis Khmer menguasai Kamboja pada 1975. Mereka mencabut perlindungan hukum yang diberikan kepada komunitas agama dan berusaha memangkas populasi Islam di wilayah tersebut.
#5. Pada 1979, ketika kekuasaan Khmer jatuh, sekitar 500 ribu Muslim atau sekitar 70 persen dari populasi Muslim di Kamboja dibunuh. Pemerintah Khmer Merah juga menghancurkan masjid, madrasah, mushaf serta melarang kegiatan-kegaiatan keagamaan. Termasuk pelarangan menggunakan bahasa Campa, bahasa kaum muslimin di Kamboja

Diolah dari berbagai sumber termasuk dari harian Republika

5 Fakta tentang Islam di Vietnam : Minoritas di Antara Minoritas

5 Fakta tentang ‪#‎Islam‬ di ‪#‎Vietnam‬ : ‪#‎Minoritas‬ di Antara #Minoritas | ‪#‎RamadhanSeries‬ : Muslims di ‪#‎Indocina‬
Muslim Vietnam1. Umat beragama adalah penduduk minoritas di Vietnam. Hasil sensus sepuluh tahun silam menun­jukkan, lebih 80 persen penduduk Vietnam tidak beragama. Vietnam diketahui sebagai negara komunis. Seperti halnya negara komunis lainnya, kegiatan keagamaan pun diatur. Dari minoritas (kurang 20 persen) pemeluk agama, di antaranya penganut Katholik Roma dan Protestan, terutama dari etnis Cao Dai dan Hoa Hao. Sementara penganut Islam adalah minoritas di antara minoritas yang beragama itu, terutama dari cuku Cham (Champa).

2. Secara umum, total populasi Muslim, terutama dari komunitas Cham, di negara yang berpenduduk 86 juta orang itu sekitar 100 ribu orang. Namun, menurut hasil survei yang dilakukan The Pew Research Center pada Oktober 2009, jumlah umat Islam di Vietnam mencapai 71.200 jiwa. Angka itu naik dibandingkan data hasil sensus pada 1999 yang hanya 63.146 jiwa.

3. Kaum Muslim di Vietnam hanyalah sebuah komunitas kecil. Sebagian besar dari mereka tinggal di daerah yang biasa disebut Distrik VIII. Dahulu, ketika wilayah itu masih bernama Saigon, daerah tersebut merupakan tempat generasi keturunan Kerajaan Campa tinggal. Sisa-sisa kerajaan itu masih ada di bagian tengah dan selatan Vietnam. Masyarakat dari kerajaan itu sering disebut sebagai orang-orang Cham.

4.Setelah kemerdekaan Vietnam, terutama selama masa perang (1957-1975), kehidupan orang-orang Islam relatif terisolasi bahkan disisihkan. Nasib mereka bertambah malang setelah perang berakhir dan seluruh Vietnam dikuasai Partai Komunis. Tahun pertama masa Republik Sosialis Vietnam yang ditandai reunifikasi (penyatuan kembali seluruh Vietnam), kehidupan umat Islam makin tertekan. Mereka dilaporkan memang tidak mengalami kekerasan fisik, namun banyak masjid ditutup oleh pemerintah dan orang-orang Islam dilarang berhubungan bahkan berbicara dengan orang asing.

5.Tekanan tersebut membuat banyak di antara penduduk Muslim Vietnam yang kemudian memilih meninggalkan negeri mereka. Setelah berdirinya Republik Sosialis Vietnam pada tahun 1976, tercatat sekitar 55.000 muslim Cham beremigrasi ke Malaysia, dan 1.750 orang lainnya diterima sebagai imigran oleh Negara Yaman. Seorang Muslim bernama Hachot, mengaku dirinya tak merasa menjadi bagian dari masyarakat Vietnam yang lebih luas, meskipun pemerintah telah membantu membangun kembali rumahnya beberapa tahun yang lalu. Menurut dia, sikap kelompok mayoritas etnis Kinh terhadap Cham pun amat beragam. ‘’Beberapa Kinh mengatakan Cham kotor,’’ ujarnya seperti dikutip laman muslimvillage.com. Mereka keberatan dengan sikap Muslim yang mengharamkan daging babi.

Diolah dari berbagai sumber
oleh redaksi Far-Eastern Women’s Voices for the Khilafah

Sejarah Islam di Indocina

Indochina RamadhanIslam di Indochina

Pada abad pertengahan, Indocina dibagi kedalam tiga kerajaan: Annam (Vietnam sekarang), Kampuchea dan Champa. Annam terdiri hanya dataran Tonkin Utara, yakni delta sungai merah. Annam adalah negara buddha. Sementara Kampuchea adalah wilayah kerajaan Hindu yang memiliki wilayah lebih luas daripada yang dimiliki oleh negara Kamboja dewasa ini. Sementara bagian tengah dari Vietnam sekarang, pada waktu itu adalah wilayah kekuasaan Champa.
Wilayah ini pernah mengalami suatu fase yang memerankan peranan pentingd alam perkembangan islam, khususnya di wilayah indocina, baik menyangkut politik maupun ekonomi. Dominasi kaum muslim dalam perdagangan dan upaya penyiaran islam yang amat gencar dilakukan di daerah ini telah membantu menfasilitasi naik pamornya kelompok muslik di Indocina terutama yang berpusat di wilayah kerajaan kampuchea. Di antara wilayah-wliayah indocina lainnya seperti vietnam dan laos, wilayah Kampuchea memiliki peranan dan pengaruh kaum muslim lebih besar, karena beberapa abad sebelumnya di Champa, yang kemudian bergabung dengab kerajaan kampuchea pernah terdapat kesultanan Muslim.
Penduduk muslim kampuchea, sebagaimana kaum muslim lainnya bersifat kosmopolitan. Mungkin karena faktor inilah yang kemudian menjadikan penguasa kampuchea masuk islam di awal abad ke 17. Mayoritas muslim di wilayah ini berasal dari etnis Cham. Sulit dipastikan kapan cham mulai mengenal al Qur’an. Islam memasuki masyarakat Champa diperkirakan pada periode dinasti Zoong di China (960-1280 M). Komunitas muslim cham sudah ada pada abad ke X.
Tampaknya melalui hubungan dengan orang-orang melayu lah Cham menjadi muslim. Setelah kejatuhan negeri pada tahun 1470 oleh kerajaan Annam yang agresif dan selalu melakukan ekspansi dan mengambil seluruh wilayah kerajaan Champa, menyaksikan sebagian komunitas mereka mengungsi ke Kampuchea, dimana mereka semua adalah muslim.
Maka kerajaan Champa ini memiliki pertalian dengan negara Hindu jawa dan malaka. Ketika wilayah ini dikuasai oleh Annam dan ditawarkan memasuki agama islam, memeluk islam secara masal. Hingga akhirnya seperti dijelaskan sebelumnya melakukan emigrasi ke wilayah Kampuchea dan sempat sukses membawakan agama islam kepada elit penguasa kerajaan kampuchea.

Disarikan dari blog http://cerminsejarah.blogspot.com dan buku Ajid Thohir,  Studi Kawasan Dunia Islam Perspektif etno-Lingusitik dan Geo-Politik

SELAT MALAKA JANTUNG MARITIM ABAD 21 : GEOPOLITIK DUA SAMUDERA

SELAT MALAKA JANTUNG MARITIM ABAD 21 : GEOPOLITIK DUA SAMUDERA

Selat Malaka merupakan rute pelayaran penghubung utama antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Selat ini juga menghubungkan sejumlah kekuatan ekonomi di Asia seperti Timur Tengah, India, China, Jepang, Korea Selatan, Thailand, Indonesia dan Malaysia. Selat Malaka juga telah membuktikan dengan pasti bahwa Samudera Atlantik dan Samudera Pasifik adalah “lautan terbuka”, sementara Samudera India adalah “lautan semi tertutup” dimana hal ini menjadikan Samudera Hindia menjadi sangat rawan dan kritis.
Dua karakteristik kunci yang membedakan Samudera Hindia dari Samudera Pasifik adalah; pertama, hanya seperlima dari total perdagangan dilakukan antara negara-negara Samudra Hindia itu sendiri, 80 persen dari perdagangan adalah ekstra-regional (misalnya, minyak mentah ke Eropa, Amerika Serikat dan Jepang). Sementara di Atlantik dan Pasifik –khususnya saat ini adalah Samudera Pasifik– proporsinya justru persis sebaliknya. Yang kedua, berkebalikan dengan Samudera Pasifik yang merupakan “lautan terbuka”, Samudera Hindia hanya dapat diakses melalui beberapa choke point yaitu dari Barat melalui Cape of Good Hope dan Selat Madagaskar, dari Utara melalui Selat Bab-el Mandeb pada bagian akhir Laut Merah dan Selat Hormuz saat keluar dari Teluk Persia, dari Timur melalui Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Ombai-Wetar. [1]

Posisi selat Malaka menjadi semakin kritis, seiring dengan kenyataan bahwa pusat kegiatan ekonomi dunia sejak akhir abad-20 telah mengalami pergeseran dari Poros Atlantik ke Poros Asia-Pasifik. Untuk pertama kalinya sejak permulaan abad ke -16, konsentrasi global perekonomian dunia tidak lagi ditemukan di Eropa, bukan juga Amerika, melainkan di Asia. Beberapa pemikir Geopolitik dari Eropa dan Amerika menyebut pergeseran ini sebagai ”the end of the Atlantic era”. [2]
Ini juga didukung oleh pandangan Robert D. Kaplan, dimana menurutnya fokus analisa geopolitik telah bergeser dari Eropa ke Asia. Karena itulah posisi Samudera Pasifik dan Samudera India menjadi kian signifikan dalam konstelasi geopolitik di abad 21 ini, dan Selat Malaka adalah selat yang menjadi penghubung tercepat di antara dua samudera tersebut, sekaligus penghubung antara dua kubu ekonomi yaitu industri dan konsumsi, yang menjadi rantai ekonomi antara negara-negara industri dengan negara-negara konsumen. [3]
Samudera India diidentifikasi oleh Robert D. Kaplan sebagai geopolitical pivot of the 21st century. Dengan kata lain, lebih dari sekedar fitur geografis, wilayah Samudera Hindia yang meliputi seluruh busur Islam dari Gurun Sahara sampai ke kepulauan Indonesia ini adalah sebuah “ide” yang menggabungkan sentralitas Islam dengan politik energi global serta bangkitnya India dan China dalam dunia yang multipolar. [4]
Samudera Pasifik sebagai samudera terluas di dunia, saat ini telah muncul sebagai salah satu pusat strategis maritim dunia di abad ke 21 ini, setelah sebelumnya lebih banyak berpusat di Samudera Atlantik. Pergeseran kekuatan ke Asia-lah yang menjadi faktor signifikan penyebabnya. Geografi maritim di Asia mempresentasikan antar muka benua Asia dan samudra Pasifik. Kompleks geografis maritim wilayah tersebut berbatasan dengan kepulauan dan pulau-pulau Asia Tenggara, dan dikelilingi oleh pesisir luas daratan Asia dan benua kekuasaan AS, Rusia dan Cina. Kawasan ini juga dipenuhi oleh sayap-sayap maritim Teluk Persia dan Samudera Hindia yang menyusun rangkaiannya ke negara-negara kepulauan Asia Tenggara, dikelilingi oleh pesisir luas daratan Asia dan kekuatan kontinental Amerika Serikat, Rusia dan Cina.
Alfred Thayer Mahan melihat Samudra India dan Pasifik sebagai engsel dari takdir geopolitik (the hinges of geopolitical destiny), karena kedua samudera ini akan memungkinkan sebuah negara maritim untuk memproyeksikan kekuatannya di sekitar lingkaran tepi Eurasia, sehingga dengan demikian akan mempengaruhi perkembangan politik jauh ke Asia Tengah. Pemikiran Mahan membantu menjelaskan mengapa Samudera India akan menjadi jantung dari persaingan geopolitik di abad ke-21 dan mengapa buku-bukunya sekarang membuat gusar kalangan ahli strategi Cina dan India. Demikian pula, ahli strategi Belanda-Amerika Nicholas Spykman juga melihat daerah pesisir lautan India dan Pasifik sebagai kunci untuk dominasi di Eurasia. [5]
Perairan antara Timur Tengah dan kawasan Asia-Pasifik terbagi menjadi dua zona yang berbeda: pertama adalah zona Samudera Hindia (termasuk Laut Arab dan Teluk Benggala) dan kedua adalah apa yang mungkin secara kolektif disebut sebagai the archipelagos zone (zona kepulauan) melalui berbagai saluran selat di Indonesia yang mengarah dari Samudera Hindia ke Laut Cina Selatan, bagian barat Samudera Pasifik dan Laut Arafura. [6] Di zona kepulauan inilah Selat Malaka berada, menjadi chokepoint paling strategis.

Fika MK

[1] Peter Lehr, The Challenge of Security in the Indian Ocean in the 21st Century: Plus ça change…?, Working Paper no. 13, South Asia Institute University of Heidelberg, November 2002
[2] Dale Walton, Geopolitics and the Great Powers in the Twenty-First Century: Multipolarity and the Revolution in Strategic Perspective, London: Routledge, 2007
[3] R. Tumbelaka, Mengantisipasi kemungkinan Terorisme Maritim sebaga Kuda Troya Intervensi Asing di Selat Malaka, Jurnal Intelijen CSICI no. 36, 2011
[4] Robert D. Kaplan, Monsoon : The Indian Ocean And The Future Of American Power, 2010
[5] Robert D. Kaplan, The Reverse of Geography, Foreign Policy Journal, August 2009
[6] Andrew Brown, Cooperative Security at Sea in the Waters between the Middle East and the Asia-Pacific di dalam buku Maritime Capacity Building in the Asia-Pacific Region, Papers in Australian Maritime Affairs no.30

Three Facts about Sabah : A Nation of Migrants

1. Oil palm plantations depend on foreign labour as they are hardworking and productive || 85% of the workers were foreigners from Indonesia and the Philippines, so Sabah’s population is largely non-Malaysian, including many Indonesians and Filipinos who have migrated to Sabah (legally and illegally) for employment and to escape poverty in their own countries.

2. Muslim #inter-marriage in Sabah on the Rise || there were 8,859 Muslim marriages between foreign men and local women in Sabah from 2000 to October 2012, as well as 10,922 Muslim marriages between foreign women and local men in the same period, totalling 19,781 marriages. Most of the foreign wives are Indonesian and Filipinos meanwhile the foreign husbands included Filipinos, Afghans, Algerians and Bangladeshis

3. The #Stateless Children in #Sabah ||approximately 52,000 stateless children in Sabah in 2009, because of these migrant families. Since 2006, children who have no documents to prove their nationality have not been able to access government services, including health and education

3 Facts about Uyghur Muslims in China

peta

1. Uyghur Muslims live in East Turkestan, which also known as the Xinjiang Uyghur Autonomous Region of China, lies in the very heart of Asia. Situated along the fabled ancient Silk Road, it has been a prominent centre of commerce for more than 2000 years. East Turkestan is also the homeland of the Turkic speaking Uyghurs and other Central Asian peoples such as Kazakhs, Kyrgyz, Uzbeks, Tatars and Tajiks.
2. Contacts between Uyghurs and Muslims started at the beginning of 9th century and conversion to Islam began. During the reign of Karahanidin kings, the Islamization of Uyghur society accelerated. Kashgar, the capital of Karahadin Kingdom, quickly became one of the major learning centers of Islam.
3. East Turkistan under military control of communist China since 1949, since that Uyghurs in China are victims of JOB DISCRIMINATION, LIMITATIONS, limitations on the use of Uyghur language and on religious and cultural practices, FORCED DISAPPEARANCES, ORGAN HARVESTING, and unlawful house searches by Chinese authorities.